Menerima Orang Lain

Written on 06/04/2019
Maria Shandi


Aku pernah membaca sebuah kisah tentang seorang pemuda berumur 24 tahun yang sedang berada di dalam kereta bersama dengan ayahnya. Ketika kereta sedang berjalan, pemuda tersebut terlihat sangat antusias melihat pemandangan luar. Sambil terkagum, ia memberi tahu ayahnya bahwa pohon-pohon di luar sedang berlarian dan awan-awan di atas sedang mengikutinya. Lalu seorang yang duduk di depan pemuda tersebut merasa risih dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan. Dia mendekati ayah dari pemuda tersebut dan berbisik memberikan saran agar anaknya dibawa ke dokter. Sambil tersenyum, sang ayah menjelaskan bahwa ia dan anaknya baru saja pulang dari rumah sakit karena anaknya buta sejak lahir dan baru mendapat penglihatan pertamanya di hari itu.

Kisah ini mengingatkanku tentang arti menerima orang lain. Ketika kita ingin menerima orang lain apa adanya, seharusnya kita tidak menuntut mereka untuk bersikap seperti yang kita mau. Kita mungkin seringkali memasang suatu ukuran atau standar untuk seseorang agar bisa kita terima. Namun sesungguhnya kita tidak berhak menentukan ukuran atau standar bagi siapapun, hanya Tuhanlah yang berhak. Bahkan Tuhan pun tidak memaksa ketika seseorang belum berkeadaan seperti yang Tuhan kehendaki dan Tuhan tetap menerima mereka. Oleh sebab itu, kita seharusnya menjadi berkat untuk membuat orang lain bertumbuh, bukan melalui paksaan tapi melalui sikap hidup kita.

Ketika kita terus bertumbuh, kita akan menghayati beratnya perjuangan untuk menjadi dewasa rohani. Maka, kita pun akan mengerti beratnya perjuangan orang lain untuk menjadi lebih baik. Bahkan perjuangan mereka mungkin lebih berat daripada kita karena lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan dan pengalaman masa lalu yang mungkin lebih buruk dari kita. Oleh sebab itu, kalau kita dipertemukan dengan orang yang tidak sesuai dengan ukuran atau standar kita, kita harus dengan tulus menerima kenyataan itu. Seharusnya kehadiran kita bisa menjadi berkat untuk mereka, entah itu teman, keluarga ataupun masyarakat di sekitar kita.

Setiap orang memiliki kisahnya sendiri yang belum kita ketahui dan menyebabkan dia bisa bertindak di luar pikiran kita. Oleh sebab itu, jangan menilai orang lain sebelum kita benar-benar mengenal kisahnya. Apapun kondisi mereka, seharusnya kita menjadi teladan yang memancarkan terang bagi mereka. Kita harus memandang dan memperlakukan mereka seperti Tuhan memandang dan memperlakukan mereka. Kalau kita menerima mereka, kita melakukannya bukan untuk menyenangkan siapa pun, tapi untuk menyenangkan Tuhan.

Seperti Tuhan menerima kita dengan segudang kekurangan kita, begitu pun kita seharusnya menerima orang lain. Kalaupun dia tidak memberikan respon yang baik atas tindakan kasih kita, bersabarlah seperti Tuhan bersabar atas diri kita. Seperti orang yang sedang sakit, kita harus menuntun dan tidak boleh memaksanya berlari. Tindakan kasih kita akan menjadi sengatan kuat yang menyadarkan mereka untuk bertumbuh.

Aku menyadari ini bukanlah hal yang mudah karena kita harus memperagakan hati Tuhan sehingga bisa membuka mata orang lain untuk melihat kebenaran. Kita harus mengasihi mereka seperti Tuhan mengasihi mereka yaitu karena jiwa mereka berharga sehingga kita berusaha untuk menjadi berkat melalui perkataan dan tindakan kita. Mereka adalah sasaran kasih Tuhan yang melalui hidup kita mereka bisa diberkati dan diselamatkan. Mereka saudara kita, yang untuk mereka jugalah Tuhan menyerahkan nyawaNya. Kalau kita diberikan kesempatan untuk bertemu dengan mereka, itu berarti Tuhan menaruh mereka di atas pundak kita sebagai proyek Surgawi. Mari menjadi agen Surgawi yang menyalurkan perasaan Tuhan dengan menerima dan mengasihi sesama.